Cahaya Bintang
Seberkas ingatan yang memilukan membuat cewek itu terbangun dari tidur
nyenyaknya. Lagi-lagi bayangan itu, tapi kali ini tampak nyata dan meninggalkan bekas luka
di hatinya. Cewek cantik berambut hitam kecoklatan itu mengusap kedua matanya dan
berjalan menuju dapur. Dapur rumahnya tidak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Yang
penting kompor, lemari pendingin, dan rak piring muat di taruh di sana.
Seorang wanita sekitar dua puluh lima tahunan sedang berdiri di depan penggorengan.
“Aya, kamu kok baru bangun sih? Belom siap-siap lagi.. Cepet gih sana kamu mandi
abis itu sarapan..” Wanita itu menaruh dua buah piring di atas meja makan.
Aya duduk disalah satu kursi sambil memandangi makanan di atas meja. “Kak, Aya
gak mau sarapan, Aya gak mau sekolah..” “Kok gitu sih? Hari ini kan kamu ikut MOS, percuma dong capek-capek belajar buat
masuk SMA Brawijaya tapi kamunya malah gak mau sekolah. Habis mandi kamu sarapan.
Kak Ica udah masak ini dari tadi Subuh loh. Yuk buruan, ntar kamu telat!” Kak Ica memaksa
Aya dan mendorongnya ke kamar mandi, lalu kembali ke penggorengan.
“Aya mimpi Papa Mama lagi..”
Seketika Kak Ica menghentikan segala aktifitas memasak di dapur. Ia mendekati Aya
dan memegangi kedua tangannya.
“Kamu harus janji sama kakak, kamu nggak boleh ingat kejadian masa lalu. Kamu
buang mimpi-mimpi itu, satu yang pengen kakak mau, kamu harus bahagia. Cari teman baru,
tetangga baru, pacar baru.. Move on dong, Ay! Okay? Yaudah kamu mandi sana. Nanti bau
kamu nyaingin kambing tetangga kita lagi!” Ledek Kak Ica. Selesai mandi dan berpakaian rapi, Aya dan Kak Ica sarapan di meja makan sambil
mengobrol tentang acara pernikahan Kak Ica yang akan berlangsung bulan depan dengan
seorang pengusaha muda, namanya Rian.
Waktu tinggal lima menit lagi sebelum bel berbunyi. Sekuat tenaga Aya berlari dari rumah
sampai ke depan kompleks untuk mencari taksi. Sudah dua menit cewek itu nunggu tapi tidak
ada satupun angkutan umum yang lewat. Waktu tersisa tiga menit kurang sedikit, ia terpaksa
berlari lagi dari depan kompleks sampai ke stasiun halte bus trans Jakarta. Karena jarak yang ditempuh cukup jauh jadi dia membeli sebotol orange juice untuk menghilangkan hausnya
pada pedagang asongan.
Aya berjalan masuk ke dalam bus trans. Susah untuknya membuka tutup botol
minumannya, selain keras, di dalam bus ia juga harus berhimpitan dan berdesak-desakan
dengan penumpang lainnya. Cewek itu baru sadar kalau ada seorang cowok di depannya yang
memakai seragam SMA dengan badge bertuliskan SMA Brawijaya. SMA yang akan
dimasukinya. Ia mengira mungkin cowok itu kelas sebelas atau dua belas, tidak mungkin dia
peserta MOS. Soalnya cowok itu tidak memakai atribut seperti yang Aya pakai. Yaitu karton
nama dan tas karung.
“Gue boleh minta tolong nggak?” Aya takut-takut bertanya. Cowok itu malah noleh
ke kiri dan ke kanan. “Lo bicara sama gue?” Tanya cowok itu dingin.
“Iya. Lo bisa bukain tutup botol minuman gue nggak? Keras soalnya..” Cewek itu
menyodorkan orange juicenya ke cowok brawijaya itu. Dengan satu kali putaran tutup botol
itu bisa dibuka sama dia.
“Thanks ya..”
Cowok itu tidak menjawab apa-apa. Tiba-tiba bus berhenti mendadak dan Aya tidak
sempat menutup orange juicenya, tanpa disengaja minuman itu tumpah mengenai baju
seragam si cowok yang tadi membantunya membuka tutup botol.
“Lo gila apa!!! Liat nih baju gue basah semua, bego!” Cowok itu marah-marah sambil
membersihkan jus jeruk yang menimbulkan warna pekat di seragam sekolah yang tadi masih
putih, bersih, dan rapi. “Maaf.. Gue nggak sengaja.” Aya menjawab takut-takut dan menjauhkan orange juice
dari cowok Brawijaya itu.
“Maaf, maaf. Lo pikir maaf lo bisa bikin baju gue bersih lagi apa!!! Liat nih!” Orang
itu menunjuk-nunjuk baju seragamnya yang sudah berganti warna. Tak peduli dengan orang
di sekeliling yang menatap mereka dengan pandangan bingung.
“Yaudah deh, sini in baju lo biar gue yang cuci.. Maafin gue ya..” Aya semakin
merasa bersalah. “Lo itu bego apa gila! Masa gue harus nyerahin baju gue ke elo, gue ke sekolah pake
apa! Mikir dong!!” Cowok itu tambah menaikkan volume suaranya yang nge-bass itu dan
kali ini sambil nunjuk-nunjuk jidat cewek di depannya itu.
“Jadi gue harus ngapain? Gue kan udah minta maaf. Oh iya gini aja, gue kasih lo
nomor hape gue, kalau lo mau minta ganti rugi telepon gue aja. Tunggu bentar!” Aya
mengambil secarik kertas dan sebuah bolpen dari saku tasnya. Ia menuliskan beberapa angka
diatas kertas kemudian memberikannya kepada cowok itu.
“Nomor hape lo belum tentu asli. Gue nggak percaya! Kasih alamat rumah sama
sekolah lo.” Cowok itu terus memaksa sampai akhirnya Aya nyerah juga.
“Alamat rumah gue di jalan Pal Merah Jakarta Selatan. Gue juga sekolah di SMA
Purnama, udah kan?” “Ok. Hati-hati aja kalo gue sampe dateng ke sekolah lo.. Ikat rambut lo keren!”
Cowok itupun pergi setelah bus berhenti di stasiun berikutnya, Aya juga ikut turun. Cewek
itu merasa jengkel waktu dia komentar tentang ikat rambutnya yang terbuat dari tali raffia,
salah satu atribut OSPEK yang wajib dipakai anak baru khusus cewek. Cowok itu
memperhatikan Aya dari bawah sampai atas, dari atas sampai bawah.
“Ngapain lo turun disini? SMA Purnama bukannya masih jauh? Lo naik dua angkutan
baru bisa sampe di sana..” Cowok itu masih tidak tau kalau Aya ngasih alamat rumah sama
nama sekolah yang palsu.
“Gue.. gue..” Aya melihat jam tangannya dan waktu menunjukkan pukul 06.59 WIB,
tinggal semenit kurang. “Gila!!! Gue bisa telat nih..” Cewek itu segera berlari ke sekolahnya. Cowok itu mengejar Aya dan mereka sampai di pintu gerbang SMA Brawijaya, Aya
tidak sadar sama sekali kalau cowok tadi ngikutin dia dari belakang. Cewek itupun berbaris
diantara peserta MOS lainnya dengan napas yang terengah-engah.
“Kurang ajar! Gue ditipu sama tu cewek!” Gumam cowok yang mengikuti Aya. Ia
juga segera berlari masuk ke dalam sekolah.
--Happy reading gays.. cerita bersambung :)--